Surabaya, 10 November 2025 – Peringatan Hari Pahlawan tahun ini menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk merenungkan kembali makna perjuangan dan pengorbanan para pendahulu. Di Surabaya, kota yang menjadi saksi bisu pertempuran heroik 10 November 1945, semangat "merdeka atau mati" kembali digaungkan, namun dengan konteks dan tantangan yang berbeda.
Di tengah suasana peringatan, Arsyad Habibillah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Sosial Budaya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menyerukan pentingnya konsolidasi gerakan intelektual di kalangan pemuda. Dalam wawancara eksklusif, Habib menekankan bahwa semangat perjuangan para pahlawan harus diwujudkan dalam aksi nyata, terutama dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
"Perjuangan para pendahulu kita adalah sejarah panjang yang seharusnya menjadi landasan semangat dalam memperkuat rasa nasionalisme," ujar Habib. "Momen Hari Pahlawan haruslah diisi dengan konsolidasi gerakan intelektual, seperti halnya pemuda-pemuda dulu yang mampu menyatukan pemikiran dan kekuatan untuk membangun peradaban serta persatuan bangsa."
Habib menjelaskan bahwa tantangan generasi muda saat ini berbeda dengan tantangan yang dihadapi para pahlawan di masa lalu. Degradasi moral, krisis kepemimpinan, dan pragmatisme politik menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan bangsa. Oleh karena itu, ia mengajak pemuda untuk kembali pada nilai-nilai perjuangan yang sejati: keberanian, kejujuran, dan pengabdian.
"Menjadi pahlawan hari ini bukan lagi berjuang dengan senjata, tapi dengan pikiran, moral, dan keberanian bersikap untuk kebenaran," tegasnya.
Peringatan Hari Pahlawan tahun ini juga diwarnai oleh perdebatan publik mengenai rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia. Isu tersebut menimbulkan pro dan kontra, terutama dari kalangan aktivis dan mahasiswa yang menilai bahwa rekam jejak rezim Orde Baru tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan.
Habib turut menanggapi isu tersebut dengan sikap kritis. Ia menilai bahwa penganugerahan gelar pahlawan tidak bisa diberikan tanpa pertimbangan moral, sejarah, dan kemanusiaan yang mendalam.
"Pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak bisa serta merta diberikan karena alasan receh atau kepentingan elit. Apalagi kalau menyangkut luka masa lalu yang masih dirasakan oleh banyak kalangan rakyat. Pemerintah perlu berpikir matang sebelum mengambil keputusan soal ini," tegasnya.
Kontroversi ini menjadi pengingat bahwa sejarah bangsa tidak selalu hitam putih. Ada berbagai perspektif dan interpretasi yang perlu dipertimbangkan dalam menilai suatu peristiwa atau tokoh.
Sebagai penutup, Habib mengajak seluruh generasi muda untuk menjadikan Hari Pahlawan sebagai momentum untuk membangun kesadaran baru tentang tanggung jawab sebagai warga negara. "Mari kita rawat semangat perjuangan para pahlawan dengan terus berkontribusi positif bagi bangsa dan negara," pungkasnya.

0 komentar: